Foto Profil

Foto Profil

Selasa, 10 Juni 2014

Rapat Damai Tumbang Anoi, Sebuah Cermin Dayak Masa Lalu

Kali ini ane mau membahas sebuah peristiwa yang menurut ane penting dalam sejarah di Pulau Kalimantan khususnya peristiwa penting bangsa Dayak. Ya,,,,Rapat Damai Tumbang Anoi adalah sebuah rapat perdamaian dimana rapat ini dihadiri oleh seluruh perwakilan bangsa Dayak seluruh daratan Kalimantan, baik yang berasal dari pesisir maupun yang datang dari pedalaman dan perbukitan. Ane mau membahas sedikit latar belakang rapat damai ini guys karena menurut ane penting...Why? Karena rapat damai ini dilaksanakan akibat dari perpecahan dan perselisihan antar bangsa Dayak di jaman lampau dimana antarsuku Dayak masih belum memiliki rasa persatuan yang kuat. Setiap subsuku merasa bahwa subsuku lain adalah musuh atau lawan yang harus diserang demi sebuah kehormatan. Tapi jujur, ane ngga menyalahkan karena itu adalah keyakinan leluhur kita dimasa lampau, namun apabila kita berbicara dalam konteks kekinian, maka akan sangat miris bila apa yang terjadi dimasa lalu terjadi kembali dimasa kini. Mungkin latar belakang rapat damai ini akan ane kisahkan dengan mengambil sumber dari beberapa bahan, baik itu tulisan hasil penelitian, blog tetangga ataupun hasil tanya dengan kawan. Namun sumber dominan adalah dari blogger tetangga karena itulah sumber yang paling mudah untuk didapatkan meskipun validitasnya pun masih perlu untuk kita teliti lebih dalam lagi.

Rapat damai ini didasari adanya sebuah peristiwa selisih paham antara suku Dayak Ngaju di Kahayan, Kalimantan Tengah dengan suku Dayak Kenyah di Ulu Mahakam, Kalimantan Timur. Pada saat itu, lokasi kebun karet dimana biasa orang Dayak Ngaju mengambil getah Nyatu di daerah Bukit Batu Ayau (saat ini masuk wilayah Kabupaten Murung Raya yang berbatasan langsung dengan daerah Kutai Barat dan Dataran Tinggi Apokayan) kemungkinan secara tidak sengaja diakui pula oleh suku Dayak Kenyah sebagai daerah kebun karet mereka. Hal ini memicu kemarahan penduduk dari suku Dayak Ngaju. Dalam rangka mengusir petani karet Dayak Kenyah yang dianggap mengambil area usaha mereka, penduduk Dayak Ngaju melakukan penyerangan yang saat itu dikenal dengan peristiwa "Kayau 100". Dalam catatan, peristiwa ini terjadi di daerah hulu Sungai Barito, persis berbatasan dengan daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, tepatnya didaerah Tumbang Topus dan Datah Nalau di ulu Sungai Mahakam. Akibat penyerangan ini, pihak Dayak Kenyah melakukan balasan dengan menyerang secara kayau daerah penduduk Dayak Ngaju yaitu didaerah Kurun Tampang, Sei Miri, Sei Hampatung, Sei Beringei, daerah Pajangei dan Sei Rungan (hampir masuk daerah Pahandut yang saat ini merupakan ibukota Kalimantan Tengah, Palangkaraya). Dipimpin oleh 2 orang panglima perangnya yaitu Sangiang Hadurut dan Tingang Koai, pasukan Dayak Kenyah menyerang habis-habisan hampir seluruh kawasan Kalimantan Tengah saat ini. Daerah yang paling banyak terkena imbas serangan adalah hulu Sungai Barito dan Tanah Dusun serta Kahayan di daerah Gunung Mas (Tewah dan Manuhing).

Melihat penyerangan tersebut, suku Dayak Ngaju tidak mau mengalah dan mengangkat 4 orang panglima perang, yaitu :
1. Panglima Undeng sebagai pemimpin pasukan.
2. Panglima Teweng.
3. Panglima Batoe.
4. Panglima Beneng.

yang kesemuanya berasal dari daerah Batu Nyiwuh, Tewah, Kabupaten Gunung Mas saat ini. Manajah Antang pun dilakukan sebagai syarat agar keempatnya bisa turun dalam medan perang. Tutuk Bakaka yang diisi dengan pesan dan Mandau dikirim ke Kalimantan Timur, sebagai tanda bahwa suku Dayak Ngaju siap mengadakan perang terbuka dengan suku Dayak Kenyah di Tumbang Topus, hulu Sungai Barito. Dengan membawa serta 200 pasukan kayau, keempat panglima perang berangkat dari Sungai Kahayan ke Sungai Barito menggunakan 8 buah regeh (perahu bercadik) yang didempul damar. Sampai di hulu Barito, pasukan Dayak Ngaju sudah dihadang. Tanpa perlu waktu lama, kontak fisik antara kedua pasukan pun berlangsung hebat. Ada banyak versi terkait perang di Tumbang Topus ini, ada yang mengatakan 6 bulan dan yang mengatakan perang berlangsung 40 hari. Namun akhir dari perang ini adalah tidak ada pemenangnya. Karena yang tersisa hanyalah keempat panglima perang suku Dayak Ngaju. Dari pihak suku Dayak Kenyah, panglima Tingang Koai bunuh diri karena malu sehingga yang tersisa hanya 1 panglima perangnya yaitu Sangiang Hadurut.

Mendengar hal tersebut, residen Belanda yang berkedudukan di Banjarmasin mengirim utusan ke Kalimantan Tengah untuk mencari tokoh adat setempat terkait perang antar suku di Tumbang Topus ini. Ditemuilah 2 orang pemuka tokoh Dayak Kalimantan Tengah, yaitu Damang Batoe dan Tamanggung Tundan dari Tewah yang bersedia untuk melaksanakan pertemuan besar untuk menengahi konflik suku tersebut. Tanpa menunggu lama, dimulailah persiapan pertemuan besar tersebut yang direncanakan akan dilaksanakan selama 3 bulan tanpa henti dengan dihadiri 600 orang utusan dan 1000 masyarakat dari seluruh daratan Kalimantan. Untuk melaksanakan persiapan menyambut kedatangan para utusan besar tersebut, maka Damang Batoe dan penduduk Tumbang Anoi :
  • Membuka ladang di beberapa bukit yang di tanami parei (padi), ubi kayu (jawau) selama tiga tahun.
  • Menyediakan sekitar kurang lebih 60 ekor kerbau.
  • Menyediakan lebih dari 100 (seratus) ekor sapi.
  • Ratusan ekor babi dan ayam.
 Kampung Tumbang Anoi, tempat pertemuan damai dilaksanakan

setelah berakhir musim panen rapatpun dapat terlaksana dengan sukses di rumah adat Betang milik Damang Batoe selaku pengundang yang di hadiri oleh para tokoh atau pemimpin masyarakat suku Dayak dari seluruh Kalimantan.
Nama nama para utusan yang telah hadir di pertemuan Damai Tumbang Anoi ini adalah :
  • Utusan tetap dari seluruh Kalimantan sebanyak 125 (seratus dua puluh lima) orang.
  • Utusan dari Kerajaan Banjar Kayu Tangi oleh Pangeran Hidayatullah di kirim utusan khusus sebanyak 3 (tiga) orang.
  • Utusan dari Solo sebanyak 3 (tiga) orang.
Para pemimpin dari seluruh suku Dayak Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, berjumlah sebanyak 60 (enam puluh ) orang :
  • 1 (satu) orang dari masing masing suku terkecuali Brunai yang pada saat itu di berada di bawah jajahan Inggris.
  • Utusan dari Kesultanan Kalimantan Barat yaitu Raden Mas Brata Kusuma Jaya.
  • Utusan dari pemerintah Hindia Belanda yang berkedudukan di Nanga Pinuh di hadiri oleh Controleur C.W.Aernout.
Daftar nama-nama utusan pemimpin dari daerah tertentu yaitu :
  • Utusan dari Kalimantan Timur :
  1. Ketua : Bang Cuk Lui (suku Dayak Kenyah)
  2. Wakil Ketua : Bang Lawing
  3. Anggota :
  • Taman Jajit
  • Taman Kuling
  • Haji Burit (utusan dari Kutai) 
  • Haji Bamin

  • Utusan dari Tanah Siang :
  1. Ketua : Tamanggung Anur Tiang (ayahanda dari Tamanggung Silam)
  2. Pembantu : 2 (dua) Orang

  • Utusan dari Kuala Kapuas :
  1. Ketua : Juragan Timbang
  2. Peserta : Raden Yohanes
  3. Damang Bahandang Balau

  • Utusan dari Tuyun yaitu Tamanggung Sandin

  •   Utusan dari Batu Nyiwuh :
  1. Undeng
  2. Teweng
  3. Batoe 
  4. Beneng

  •  Utusan dari Kuala Kurun :
  1. Tamanggung Panji
  2. Damang Suan
  3. Langkahan

  •   Utusan dari Hurung Bunut :
  1. Unjung
  2. Singa Bungai

  • Utusan dari Bukit Rawi yaitu Tamanggung Sura Jaya Pati (Lawak) yang mengirim wakilnya seorang cucu yang bernama Luther Nuhan (Abdullah Nuhan).

  • Utusan dari Sei Rungan yaitu Damang Singa dari Tumbang Malahoi

  • Utusan dari Sei Manuhing yaitu Damang Bakal dari Luwuk Tukau

  • Utusan dari Pulau Petak yaitu Damang Anum Jayakersa

  • Utusan dari Muara Kuatan yaitu Raden Huda Jaya Pati Rapat

Damai Tumbang Anoi di laksanakan pada tanggal 22 Mei sampai dengan 24 Juli 1894 yang tertulis dalam buku sejarah Kabupaten Kuala Kapuas sedangkan menurut masyarakat Tumbang Anoi rapat berlangsung pada tahun 1883 yang hampir bersamaan dengan meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883. Tetapi dalam buku sejarah Kalimantan Barat, rapat Damai Tumbang Anoi pada tahun 1894. Perbedaan versi ini kemungkinan terjadi akibat adanya kesalahan dalam penuturan lisan masyarakat setempat pada saat itu. Catatan Belanda pun terhadap pertemuan damai ini sangat sedikit sekali.

Setelah rapat berakhir dengan sukses selama lebih kurang dari 3 (tiga) bulan yang menetapkan kesepakatan dalam 2 (dua) hal yaitu :
  1. Menghentikan secara menyeluruh permusuhan /pertikaian antar suku atau kayau mengayau dan permusuhan dengan pihak pemerintah Hindia Belanda.
  2. Menetapkan hukum adat yang berlaku sama untuk seluruh masyarakat suku Dayak di seluruh Kalimantan. 

Saat ini mungkin kejadian seperti tahun 1880-an tidak terjadi lagi, namun bibit itu masih ada, terutama kabar terbaru soal sengketa batas wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah dimana sengaja atau tidak juga terjadi di daerah Bukit Ayau dan Natah Dalau. Semoga semua hal yang berkaitan dengan permasalahan antar sesama bangsa di Kalimantan bisa diselesaikan secara kekeluargaan sesuai dengan jiwa dan semangat adat Dayak. Salam damai dan salam Dayak....Tabe

Senin, 26 Mei 2014

Martapura, Intan di Tengah Serambi Mekkah

Martapura adalah sebuah kota kabupaten di daerah Kalimantan Selatan. Martapura berjarak lebih kurang 45 km dari pusat kota Banjarmasin. Disinilah pusat penjualan dan pengasahan batu permata terbesar di Kalimantan. Selain sebagai kota Intan, Martapura juga terkenal dengan masyarakatnya yang sangat religius karena begitu kental budaya ke-Islaman-nya, bukan hanya di Kalimantan Selatan tetapi juga terkenal hingga Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Banyak para penyebar agama dan para tuan guru (istilah orang alim ulama bagi masyarakat Banjar untuk menyebut "ustadz") terlahir dari kota Martapura ini. Sedikit penampakan dari Pertokoan Cahaya Bumi Selamat (CBS) Martapura waktu ane mengunjungi kota ini beberapa waktu lalu. Ane ngga banyak pasang foto karena waktu jalan kesana kemarin ngga banyak, jadi seadanya aja ya.


Gerbang Selamat Datang Pertokoan CBS Martapura

Lapak Penjual Intan di Komplek CBS

Selain terkenal dengan penjualan dan pengasahan Intan, di komplek pertokoan ini juga akan banyak kita temui penjualan pernak-pernik khas Kalimantan, misalnya aja mandau, telabang, lampit, anjat (tas khas suku Dayak) dan berbagai macam pernak-pernik khas lainnya. Tapi satu guys, kalo kalian belanja di pertokoan ini, harus pinter dan handal buat menawar harga, karena menurut ane, harga yang ditawarkan udah tinggi banget dan sepertinya akan lebih murah bila kita datang langsung ke tempat pengasahan intan atau ke lokasi pengrajinnya langsung. Tapi lupakan, karena kalian ngga akan pernah bisa guys,,,,why?? Ya karena sebagian besar pernak-pernik yang dijual disini adalah barang yang didatangkan dari luar kota Martapura, bahkan dari luar Kalimantan Selatan. Misalnya saja mandau. Setelah ane buat wawancara kecil dengan salah satu pedagang, ternyata mandau hiasan tersebut buatan Negara, Hulu Sungai Selatan yang  berjarak lebih kurang 3 jam dari Martapura. Kalau untuk datang langsung ke pengasahan intan, ane rasa kalo kalian dari luar Kalsel agak berat, tapi bagi yang sekitaran Kalsel mungkin bisa guys, itupun kalo punya kenalan atau channel istilahnya.

Oya, kalo kalian salah satu kolektor senjata tua khas Kalimantan, ternyata disini juga ada beberapa pedagang yang menjual senjata-senjata tua, misalnya mandau tua, tombak, sumpit dan beberapa senjata tua lainnya. Tapi mereka kebanyakan ngga menampilkan senjata tua tersebut di tokonya, biasanya sih disimpan dirumah atau digudang. Tapi ane ada kenalan pedagang yang menjual senjata tua dan dia berlokasi usaha di Komplek CBS Martapura ini. Kalau pengen tau bisa PM ane hahahahahaha....

So, kita back to intan. Intan ini adalah salah satu komoditas berharga di Martapura. Sebagian masyarakat Martapura menggantungkan hidupnya dari intan baik sebagai pendulang, pengasah ataupun sebagai pedagang. Dan, kalian tau guys, kalau dalam pencarian intan ini ternyata juga ngga lepas dari unsur magisnya loh. Jadi ceritanya, intan dikenal masyarakat sekitar memiliki nama panggilan masing-masing, misalnya "galuh". Nah dalam pencarian si galuh ini, ngga sembarangan guys, katanya sih harus dengan hati yang bersih dan ikhlas serta diiringi dengan ritual tertentu. Kalo ngga si galuh bisa ngambek, ngga mau keluar dan bakal lari ke perut bumi lagi (ngga tau deh kebenaran cerita ini). Cuma ada cerita menarik seputar unsur magis si galuh ini. Jadi pernah ada sebuah perusahaan besar yang berniat mencari intan di kota Martapura ini. Saat melakukan survey menggunakan peralatan canggih, terdeteksi ada sebuah intan besar di koordinat tertentu. Para surveyor lalu ingin memastikan lagi kalau benda yang terdeteksi oleh peralatan tersebut adalah intan yang memang sudah mereka buru. Setelah mereka pastikan benda itu adalah intan asli, mulailah kegiatan penggalian. Dan kalian tahu endingnya? Sampai kedalaman tertentu, si galuh belum juga ditemukan, bahkan saat dilihat kembali di layar peralatan, si galuh sudah menghilang dari deteksi. Ntah lah, mungkin hanya Allah yang tahu.

Dan kalian juga harus tahu guys, intan ini sudah pernah tercatat dalam sejarah etnis Dayak dan Banjar di Kalimantan Selatan dan Tengah. Salah satunya adalah cerita tutur lisan tentang Putri Mayang Sari. Jadi Putri Mayang Sari adalah anak perempuan dari Pangeran Suriansyah, seorang raja dari Kesultanan Banjar di Banjarmasin yang bergelar Panembahan Mata Habang. Ane coba ambil kutipan cerita dari bukunya Sutopo Ukip yang berjudul "Sejarah Banjar, Maanyan dan Merina di Madagaskar" dimana dalam salah satu tulisannya berbunyi sebagai berikut,

"Saat Uria Rinyan datang ke Kesultanan Banjar, ternyata istri Sultan jatuh hati dan terjadi perselingkuhan. Hal itulah yang membuat sultan membunuh Uria Rinyan dengan keris bermata intan, namun wakil Uria Rinyan Makarua’ng berhasil lolos dan melaporkan kepada orang-orang di kampungnya. Maka berangkatlah saudara Uria Rinyan yaitu Uria Lana ke Banjarmasin dan mengamuk di Nagara dengan menggunakan mandau yang bernama Lansar Tawomea…..sampai akhirnya Sultan Suriansyah meminta berdamai dan berjanji menyerahkan anaknya. Saat itu pula nama Uria Lana menjadi Uria Mapas".

Ane ngga akan membahas tulisan sejarah diatas lebih dalam, karena rencananya ane juga mau tulis lagi sejarah Putri Mayang Sari diatas dalam sesi lain, tapi yang ane garisbawahi adalah bagaimana etnis Banjar menempatkan intan sebagai komoditas berharga, bahkan dipakai sebagai salah satu hiasan senjata Sultan Banjar kala itu. Terbukti dari tulisan diatas bahwa Sultan Suriansyah membunuh Uria Rinyan, salah satu utusan dari suku Dayak Maanyan ke Kesultanan Banjar, menggunakan keris bermata intan. Jadi jaman dulu, intan hanyalah komoditas yang dipakai oleh para sultan-sultan di Kesultanan Banjar. So, kalau kalian hidup dijaman sekarang guys dan kalian punya atau mungkin pernah pegang benda bernama intan, maka andaikata kalian hidup di jaman kesultanan, maka posisi kalian sudah sejajar dengan para Sultan Banjar.....hehehehe...okelah sampai sini dulu tulisan ane. Saran ane, kalau kalian sempat jalan-jalan ke Kalsel, jangan sampai terlewat Kota Intan, Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Ngga jauh kok guys, sekitar 45 menit dari pusat kota Banjarmasin. Sarana transportasi pun cukup banyak untuk mencapai Martapura. Kalau ingin membeli oleh-oleh atau mungkin mencicipi penganan khas etnis Banjar di Kalimantan Selatan sepertinya Martapura cukup dijadikan salah satu rujukan kalian. Akhirnya, kembali ane berpesan, tetap selami terus kekayaan nenek moyang kita demi kehidupan Kalimantan yang lebih baik dimasa yang akan datang.

Tabe

Selasa, 13 Mei 2014

Mandau, Senjata Khas Suku Dayak

Oke guys, dalam sesi kali ini ane mau membahas salah satu kekayaan leluhur Kalimantan yang paling terkenal bahkan sampai ke dunia, yaitu senjata tradisional Kalimantan. Mandau....Ya Mandau, adalah salah satu kerajinan leluhur Kalimantan yang paling hebat, menurut ane sih. Bayangkan, di Kalimantan ini ada lebih kurang 405 subsuku Dayak dan dari sekian banyak subsuku ini mengembangkan kebudayaannya masing-masing termasuk dalam hal pembuatan kerajinan Mandau guys. Bahkan, kalo orang Dayak asli sudah bisa menerka hanya melihat dari pulang/hulu/gagang Mandau aja, si Mandau ini dibuat oleh subsuku mana, status sosial si pemegang Mandau dan pastinya berasal dari daerah aliran sungai mana Mandau tersebut berasal. Gini aja deh, sebelum ane menjelaskan panjang lebar, ane mau sharing Mandau pegangan ane guys, Mandau turunan dari generasi orang tua ane. Check it out penampakannya.








Coba guys, kalian perhatikan Mandau diatas. Kira-kira dari aliran sungai mana Mandau itu dibuat atau mungkin dari daerah mana asalnya. Hahahahaha, ya aku paham, agak susah memang melihat Mandau hanya dari jenis ukiran atau penampakannya. Paling gampang, tanya langsung orangnya, tuh Mandau asalnya darimana dan dibuat oleh suku mana. Oke mari kita bahas satu persatu bagian dari Mandau, dengan referensi gambar diatas. 

Kita mulai dari bilah atau besinya dulu guys. Bilah Mandau diatas ada tatah/lubangnya sebanyak 55 buah, ntah apa maksudnya ane juga kurang paham. Tapi kepercayaan Dayak jaman dulu, banyaknya tatah mewakili banyaknya kepala atau nyawa yang berhasil "dimakan" oleh si Mandau tersebut. Satu tatah dibuat persis ditengah ukiran "Kawit Kalakai"-nya, juga ngga ngerti ane apaan artinya. Model Mandau diatas biasanya disebut Tinggang, karena bentuk bilahnya yang panjang dan ramping. 

Bilah Mandau yang paling hebat terbuat dari batu besi guys. Batu besi paling terkenal di seluruh daratan Kalimantan adalah batu besi Mantikei, di hulu Sungai Mantikei, Kabupaten Katingan dan di daerah Montallat, hulu Sungai Barito, Kalimantan Tengah. Bahkan batu besi Montallat terkenal karena mengandung racun mematikan guys. Bukan racun yang dioles, tapi racun alam yang memang sudah terkandung sejak tuh besi belum digali. Dari bentuk bilahnya aja sebenarnya kita udah bisa membedakan darimana sih Mandau itu berasal, tapi ya lagi-lagi hanya orang Dayak asli dan Allah yang tahu persis xixixixi...




Bilah diatas dibuat ribet banget kan ya guys, ada tambahan kuningan bentuk terabai di tengah bilahnya. Yach maklum lah, kan Mandau hiasan doang, makanya dibuat ribet dengan berbagai macam variasi. Kalo Mandau asli, ukiran di bilahnya justru dibuat lebih sederhana tapi melambangkan ukiran tertentu yang pastinya memiliki arti magis tertentu.

Lanjut keatas, pulang/hulu Mandau. Pulang Mandau asli biasanya terbuat dari 3 bahan alam, yaitu tanduk rusa, tanduk kijang atau tulang. Tanduk ini lalu diukir dengan ukiran tribal khas Dayak yang tiap daerah memiliki ukiran yang sangat berbeda. Di ujung pulang ini dibuat lubang memanjang untuk memasang bilah besinya dan direkat dengan getah sambun dari sarang serangga. Setelah ditetes getah sambun, lalu diikat dengan sulat dari jangang. Jangang adalah semacam akar alam yang hidupnya hanya ada di pedalaman Kalimantan. Jaman sekarang sih guys, akar jangang udah sangat sulit dicari sehingga kebanyakan perajin Mandau mengganti akar jangang dengan anyaman rotan biasa. Diatas hulunya ditambahkan dengan variasi rambut manusia atau bulu binatang. Kalau ujung pulang Mandau dipasang rambut manusia, bisa dipastikan dengan sangat kuat, tuh Mandau udah pernah dipakai mengayau/memenggal kepala lawan.




Nah, pulang Mandau diatas terbuat dari kayu mahar guys, dibuat dengan ukiran khas Kayan. Tapi hiasannya bukan rambut manusia loh, tapi dari bahan ijuk biasa....Kalo mau liat pulang dari tanduk rusa, nih penampakannya guys,




Yes, pulang Mandau udah, bilah Mandau udah. Terakhir, ane mau jelasin soal kumpang/sarung Mandau. Kumpang Mandau biasanya terbuat dari kayu rimba Kalimantan. Ada yang terbuat dari kayu jati, kayu mihing, kayu sono keling atau kayu mahar. Kumpang Mandau ini terbuat dari sepasang kayu yang dibentuk dengan bentuk yang sama, setelah itu ditempel satu sama lain dan diikat dengan ikatan rotan yang dinamakan "tempuser undeng" atau "paikat simpey" kalo orang Kaltim bilang. Nah, tempuser undeng sendiri selain sebagai pengikat kumpang Mandau, juga menandakan status sosial si pemegang Mandau. Kalau tempuser undeng ada 3 berarti Mandau pegangan prajurit atau rakyat biasa, tapi kalau tempuser undengnya ada 4 berarti dipegang oleh "Mamut Menteng" atau orang yang gagah berani, dalam artian sederhana seorang panglima perang suku Dayak. Tempuser undeng sendiri ada tempuser undeng laki dan tempuser undeng bini. Biasanya tempuser undeng yang 3 biji terdiri dari 2 tempuser undeng bini (paling atas dan paling bawah) serta 1 tempuser undeng laki di tengah kumpang. Tambahan, biasanya di kumpang Mandau dipasang pelepah daun untuk rumah Langgei. Langgei adalah sejenis pisau kecil untuk menyerut kayu atau mengelupas kulit binatang buruan yang gagangnya terbuat dari tanduk atau tulang. Selain rumah Langgei, kumpang Mandau juga dipasangi sepasang "tali kunci" untuk mengikat Mandau di pinggang. Di tali kunci ini biasanya diikat dengan ikatan tertentu yang dinamakan "buhul kunci". Nih contoh buhul kunci guys,




Coba liat guys buhul kunci  dari gambar yang ane ambil dari blok Antik-Dayak diatas. Buhul kunci ini berguna sebagai salah satu "ilmu perunduk" dimana dipercaya bisa memperlemah, mengunci gerakan dan melumpuhkan lawan. Selain buhul kunci, biasanya Mandau yang dipakai perang dilengkapi dengan "Peteng Penyang" atau ikatan keberanian yang terbuat dari taring-taringan, kulit kerang, tanduk, kayu-kayuan dan basal (jimat) yang dibalut laukng merah. Fungsinya membuat si pemegang Mandau menjadi lebih berani saat bertarung dengan musuh dan meningkatkan kekuatan menjadi beberapa kali lipat dari seharusnya. Satu yang belum ane dapat penjelasannya adalah kegunaan dari "Duit Kapit" pada hulu Mandau diatas. Ane masih mau tanya-tanya sesepuh Dayak dulu untuk mencari jawaban dari makna duit kapit tersebut.

So, kayaknya udah panjang lebar ane udah jelaskan bagian-bagian dari Mandau guys. Kalo misalnya ada yang masih kurang mohon dimaafkan karena ane sendiri masih belajar banyak soal budaya Dayak. Sebenarnya sih, senjata khas suku Dayak bukan semata Mandau, tapi ada sumpit, tombak, dohong dan beberapa senjata khas lainnya. Tombak sendiri kalau dijabarkan terdiri dari beberapa jenis, yaitu lunju, duha, sarapang dll tergantung pada fungsi dan kegunaan tombak itu sendiri. Tapi untuk membahas senjata tradisional lainnya, mungkin akan ane buka di sesi lain kali yak. Dan terakhir, setiap penutup tiap postingan, ane ngga pernah bosan mengingatkan pada anak muda Kalimantan, agar selalu belajar dan mengetahui tentang budaya Kalimantan karena ini adalah kekayaan leluhur yang tidak ternilai harganya.

Minggu, 11 Mei 2014

Salamat Betego'IISelamat Datang di Desa Pampang Samarinda

Minggu, 11 Mei 2014



Perjalanan ke Pampang adalah perjalanan yang ngga pernah ane rencanakan sebelumnya. Sebenarnya niat dan keinginan untuk mengunjungi salah satu desa budaya khas suku kaum Kenyah di pinggiran kota Samarinda ini pernah terbersit dalam hati, tapi yach,,,,berhubung terlalu banyak pekerjaan ditambah lagi belum ada kawan yang berniat untuk kesana, akhirnya niat itu hanya tinggal niat. Tapi akhirnya 11 Mei 2014, bertepatan dengan ajakan salah satu kawan di Balikpapan, akhirnya ane putuskan bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk berangkat kesana. Sekedar info sedikit aja, Pampang adalah sebuah desa wisata budaya yang terletak sekitar 45 menit dari pusat kota Samarinda. Kebetulan ane berangkat langsung dari Balikpapan, sehingga perjalanan menghabiskan waktu hampir 4 jam (3 jam Balikpapan-Samarinda, 45 menit Samarinda - Pampang), lumayan lah membuat pinggang agak tebal lantaran duduk di mobil non-stop 4 jam hahahaha.... Memasuki desa Pampang, kita akan segera disuguhkan nuansa pemandangan alam khas wilayah Kalimantan. Dengan jalan naik turun, lebar 4 meter, lubang dan kubangan buat melihara ikan (dibuat agak lebay, biar terkesan memacu adrenalin), ada sebuah perasaan aneh saat pertama kali melihat wajah-wajah kaum Kenyah disana. Jadi keingetan waktu nonton film yang aktornya Lee Min Ho atau jadi keingetan sama wajah Lin Dan (itu lo, pebulutangkis nomor 1 dari China). Wajah khas ras Mongoloid langsung menyambut ane waktu pertama akan masuk ke Balai Adat Pemung Tawai. Kalo ane bandingkan dengan wajah ane yang ada turunan Dayak Ngaju-nya kok kayaknya ngga ada ya dikiiiit aja nuansa khas Mongoloid-nya. Berarti benar pemeo salah satu teman ane, kalo orang Dayak itu ciri fisiknya banyak, yang beruntung dapet fisik putih bersih, agak beruntung dapat fisik kulit kuning langsat agak tua dikit dan yang ngga beruntung dapat fisik yach,,,begitulah...tapi intinya disyukuri aja lah.

Balai Adat Pemung Tawai adalah sebuah balai adat suku Kenyah yang pada hari Minggu rutin menyelenggarakan pagelaran kesenian dan tari-tarian khas Kenyah. Biasanya pagelaran dilaksanakan dari jam 14.00 WITA-15.00 WITA dengan 9 tarian, diawali dengan tari Kancet Lasan dan ditutup tarian Leleng. Selesai pagelaran, kita bisa berfoto dengan para tetuha suku Kenyah. Tetuha suku ini bukan cuma tuha (istilah Banjar, tuha=tua) tapi secara umur mereka emang udah sepuuuuuhhhh banget. Salah satu tetuha adat yang bernama Amay Pibut, adalah tetuha yang pertama membawa eksodus suku Kenyah ini ke Pampang dari pemukiman asli mereka di Dataran Tinggi Apokayan, sebuah dataran tinggi di ujung utara Kalimantan, berbatasan langsung dengan Sabah dan Sarawak, Malaysia. Jadi di tengah pagelaran, Amay Pibut ini membacakan sebuah sajak yang lebih mirip dongeng, yaitu sebuah sajak bagaimana suku ini bisa berpindah dari Apokayan ke Pampang. Intinya mereka pindah ke Pampang untuk mencari penghidupan yang lebih baik, karena hidup di belantara Apokayan bagi mereka sangatlah susah sedangkan mereka sendiri juga orang-orang yang punya mimpi untuk hidup lebih baik lagi demi anak cucu mereka kelak.

 Setelah pagelaran dan tari-tarian ditutup dengan Leleng, saatnya sesi foto-foto hehehehe... jadi peraturan disini, kalau acara sudah selesai, mau foto-foto kudu bayar 25 ribu per 3 jepret foto gan hahahaha...tapi ane sih oke aja, hitung-hitung bantu penghidupan warga sekitar, apalagi buat yang udah sepuh-sepuh. Ingat ya guys, kalo acara dan sesi foto-fotonya udah kelar, jangan lupa langsung foto juga Lamin Adat Pemung Tawai. Contohnya gini nih, ane kasih gambar waktu foto lamin adatnya.


And then, eng-ing-eng, ini yang harus dan jangan dilewatkan, shopping pernak-pernik khas Dayak Kenyah adalah harga wajib (bagi yang berduit, kalo pas-pasan ya makruh lah hukumnya). Disini bakal banyak kita temui pernak-pernik khas suku Kenyah seperti Ulap Doyo, Mandau, Terabai/Telabang/Perisai, tas manik, kalung manik, gelang gaharu dst, pokoknya unik-unik dan lucu-lucu buat buah tangan keluarga dan teman. Ni salah satu mandau yang ane beli di Pampang.


Mandau ini khas banget suku Kenyah, kalo orang Kenyah bilang ini "baing ilang" kalo kita yang awam namanya mandau. Hulu mandau terbuat dari tanduk payau/rusa asli berukir tribal Dayak. Bilah ane liat sih baja sepuh, entah mungkin dari per atau besi biasa (kan cuman buat koleksi doang), kumpang/sarung mandau terbuat dari 2 lapis kayu, depan dari kayu jati asli sedangkan belakang dari kayu sono keling biasa, ditambah pelepah daun buat rumah langgei-nya. Intinya khas dan etnik banget gan. Banyak lagi kerajinan tangan yang dibuat oleh masyarakat desa Pampang ini. So, kalau ke Samarinda, jadikan Desa Budaya Pampang sebagai salah satu tujuan wisata kalian ya guys, dijamin ngga kecewa. Asal tau jadwal pagelaran tariannya, dari jam 14.00 WITA - 15.00 WITA tiap hari Minggu. Buat penutup ane kasih ni beberapa penampakan lainnya di sekitaran lamin adat Kenyah Pemung Tawai Desa Pampang.






Check it out, sekali lagi pesan ane buat seluruh anak Kalimantan, cintailah tanah Kalimantan, karena kalau bukan kita siapa lagi guys...Ingat pesan Bapa Tjilik Riwut,


"Ela sampai itah je tempun petak manana sare, je tempun kajang babisa puat, je tempun uyah batawah belai"

"Jangan sampai kita yang punya tanah malah hidup terpinggirkan, yang punya atap malah kebasahan, yang punya garam hambar dirasa"