Foto Profil

Foto Profil

Selasa, 10 Juni 2014

Rapat Damai Tumbang Anoi, Sebuah Cermin Dayak Masa Lalu

Kali ini ane mau membahas sebuah peristiwa yang menurut ane penting dalam sejarah di Pulau Kalimantan khususnya peristiwa penting bangsa Dayak. Ya,,,,Rapat Damai Tumbang Anoi adalah sebuah rapat perdamaian dimana rapat ini dihadiri oleh seluruh perwakilan bangsa Dayak seluruh daratan Kalimantan, baik yang berasal dari pesisir maupun yang datang dari pedalaman dan perbukitan. Ane mau membahas sedikit latar belakang rapat damai ini guys karena menurut ane penting...Why? Karena rapat damai ini dilaksanakan akibat dari perpecahan dan perselisihan antar bangsa Dayak di jaman lampau dimana antarsuku Dayak masih belum memiliki rasa persatuan yang kuat. Setiap subsuku merasa bahwa subsuku lain adalah musuh atau lawan yang harus diserang demi sebuah kehormatan. Tapi jujur, ane ngga menyalahkan karena itu adalah keyakinan leluhur kita dimasa lampau, namun apabila kita berbicara dalam konteks kekinian, maka akan sangat miris bila apa yang terjadi dimasa lalu terjadi kembali dimasa kini. Mungkin latar belakang rapat damai ini akan ane kisahkan dengan mengambil sumber dari beberapa bahan, baik itu tulisan hasil penelitian, blog tetangga ataupun hasil tanya dengan kawan. Namun sumber dominan adalah dari blogger tetangga karena itulah sumber yang paling mudah untuk didapatkan meskipun validitasnya pun masih perlu untuk kita teliti lebih dalam lagi.

Rapat damai ini didasari adanya sebuah peristiwa selisih paham antara suku Dayak Ngaju di Kahayan, Kalimantan Tengah dengan suku Dayak Kenyah di Ulu Mahakam, Kalimantan Timur. Pada saat itu, lokasi kebun karet dimana biasa orang Dayak Ngaju mengambil getah Nyatu di daerah Bukit Batu Ayau (saat ini masuk wilayah Kabupaten Murung Raya yang berbatasan langsung dengan daerah Kutai Barat dan Dataran Tinggi Apokayan) kemungkinan secara tidak sengaja diakui pula oleh suku Dayak Kenyah sebagai daerah kebun karet mereka. Hal ini memicu kemarahan penduduk dari suku Dayak Ngaju. Dalam rangka mengusir petani karet Dayak Kenyah yang dianggap mengambil area usaha mereka, penduduk Dayak Ngaju melakukan penyerangan yang saat itu dikenal dengan peristiwa "Kayau 100". Dalam catatan, peristiwa ini terjadi di daerah hulu Sungai Barito, persis berbatasan dengan daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, tepatnya didaerah Tumbang Topus dan Datah Nalau di ulu Sungai Mahakam. Akibat penyerangan ini, pihak Dayak Kenyah melakukan balasan dengan menyerang secara kayau daerah penduduk Dayak Ngaju yaitu didaerah Kurun Tampang, Sei Miri, Sei Hampatung, Sei Beringei, daerah Pajangei dan Sei Rungan (hampir masuk daerah Pahandut yang saat ini merupakan ibukota Kalimantan Tengah, Palangkaraya). Dipimpin oleh 2 orang panglima perangnya yaitu Sangiang Hadurut dan Tingang Koai, pasukan Dayak Kenyah menyerang habis-habisan hampir seluruh kawasan Kalimantan Tengah saat ini. Daerah yang paling banyak terkena imbas serangan adalah hulu Sungai Barito dan Tanah Dusun serta Kahayan di daerah Gunung Mas (Tewah dan Manuhing).

Melihat penyerangan tersebut, suku Dayak Ngaju tidak mau mengalah dan mengangkat 4 orang panglima perang, yaitu :
1. Panglima Undeng sebagai pemimpin pasukan.
2. Panglima Teweng.
3. Panglima Batoe.
4. Panglima Beneng.

yang kesemuanya berasal dari daerah Batu Nyiwuh, Tewah, Kabupaten Gunung Mas saat ini. Manajah Antang pun dilakukan sebagai syarat agar keempatnya bisa turun dalam medan perang. Tutuk Bakaka yang diisi dengan pesan dan Mandau dikirim ke Kalimantan Timur, sebagai tanda bahwa suku Dayak Ngaju siap mengadakan perang terbuka dengan suku Dayak Kenyah di Tumbang Topus, hulu Sungai Barito. Dengan membawa serta 200 pasukan kayau, keempat panglima perang berangkat dari Sungai Kahayan ke Sungai Barito menggunakan 8 buah regeh (perahu bercadik) yang didempul damar. Sampai di hulu Barito, pasukan Dayak Ngaju sudah dihadang. Tanpa perlu waktu lama, kontak fisik antara kedua pasukan pun berlangsung hebat. Ada banyak versi terkait perang di Tumbang Topus ini, ada yang mengatakan 6 bulan dan yang mengatakan perang berlangsung 40 hari. Namun akhir dari perang ini adalah tidak ada pemenangnya. Karena yang tersisa hanyalah keempat panglima perang suku Dayak Ngaju. Dari pihak suku Dayak Kenyah, panglima Tingang Koai bunuh diri karena malu sehingga yang tersisa hanya 1 panglima perangnya yaitu Sangiang Hadurut.

Mendengar hal tersebut, residen Belanda yang berkedudukan di Banjarmasin mengirim utusan ke Kalimantan Tengah untuk mencari tokoh adat setempat terkait perang antar suku di Tumbang Topus ini. Ditemuilah 2 orang pemuka tokoh Dayak Kalimantan Tengah, yaitu Damang Batoe dan Tamanggung Tundan dari Tewah yang bersedia untuk melaksanakan pertemuan besar untuk menengahi konflik suku tersebut. Tanpa menunggu lama, dimulailah persiapan pertemuan besar tersebut yang direncanakan akan dilaksanakan selama 3 bulan tanpa henti dengan dihadiri 600 orang utusan dan 1000 masyarakat dari seluruh daratan Kalimantan. Untuk melaksanakan persiapan menyambut kedatangan para utusan besar tersebut, maka Damang Batoe dan penduduk Tumbang Anoi :
  • Membuka ladang di beberapa bukit yang di tanami parei (padi), ubi kayu (jawau) selama tiga tahun.
  • Menyediakan sekitar kurang lebih 60 ekor kerbau.
  • Menyediakan lebih dari 100 (seratus) ekor sapi.
  • Ratusan ekor babi dan ayam.
 Kampung Tumbang Anoi, tempat pertemuan damai dilaksanakan

setelah berakhir musim panen rapatpun dapat terlaksana dengan sukses di rumah adat Betang milik Damang Batoe selaku pengundang yang di hadiri oleh para tokoh atau pemimpin masyarakat suku Dayak dari seluruh Kalimantan.
Nama nama para utusan yang telah hadir di pertemuan Damai Tumbang Anoi ini adalah :
  • Utusan tetap dari seluruh Kalimantan sebanyak 125 (seratus dua puluh lima) orang.
  • Utusan dari Kerajaan Banjar Kayu Tangi oleh Pangeran Hidayatullah di kirim utusan khusus sebanyak 3 (tiga) orang.
  • Utusan dari Solo sebanyak 3 (tiga) orang.
Para pemimpin dari seluruh suku Dayak Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, berjumlah sebanyak 60 (enam puluh ) orang :
  • 1 (satu) orang dari masing masing suku terkecuali Brunai yang pada saat itu di berada di bawah jajahan Inggris.
  • Utusan dari Kesultanan Kalimantan Barat yaitu Raden Mas Brata Kusuma Jaya.
  • Utusan dari pemerintah Hindia Belanda yang berkedudukan di Nanga Pinuh di hadiri oleh Controleur C.W.Aernout.
Daftar nama-nama utusan pemimpin dari daerah tertentu yaitu :
  • Utusan dari Kalimantan Timur :
  1. Ketua : Bang Cuk Lui (suku Dayak Kenyah)
  2. Wakil Ketua : Bang Lawing
  3. Anggota :
  • Taman Jajit
  • Taman Kuling
  • Haji Burit (utusan dari Kutai) 
  • Haji Bamin

  • Utusan dari Tanah Siang :
  1. Ketua : Tamanggung Anur Tiang (ayahanda dari Tamanggung Silam)
  2. Pembantu : 2 (dua) Orang

  • Utusan dari Kuala Kapuas :
  1. Ketua : Juragan Timbang
  2. Peserta : Raden Yohanes
  3. Damang Bahandang Balau

  • Utusan dari Tuyun yaitu Tamanggung Sandin

  •   Utusan dari Batu Nyiwuh :
  1. Undeng
  2. Teweng
  3. Batoe 
  4. Beneng

  •  Utusan dari Kuala Kurun :
  1. Tamanggung Panji
  2. Damang Suan
  3. Langkahan

  •   Utusan dari Hurung Bunut :
  1. Unjung
  2. Singa Bungai

  • Utusan dari Bukit Rawi yaitu Tamanggung Sura Jaya Pati (Lawak) yang mengirim wakilnya seorang cucu yang bernama Luther Nuhan (Abdullah Nuhan).

  • Utusan dari Sei Rungan yaitu Damang Singa dari Tumbang Malahoi

  • Utusan dari Sei Manuhing yaitu Damang Bakal dari Luwuk Tukau

  • Utusan dari Pulau Petak yaitu Damang Anum Jayakersa

  • Utusan dari Muara Kuatan yaitu Raden Huda Jaya Pati Rapat

Damai Tumbang Anoi di laksanakan pada tanggal 22 Mei sampai dengan 24 Juli 1894 yang tertulis dalam buku sejarah Kabupaten Kuala Kapuas sedangkan menurut masyarakat Tumbang Anoi rapat berlangsung pada tahun 1883 yang hampir bersamaan dengan meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883. Tetapi dalam buku sejarah Kalimantan Barat, rapat Damai Tumbang Anoi pada tahun 1894. Perbedaan versi ini kemungkinan terjadi akibat adanya kesalahan dalam penuturan lisan masyarakat setempat pada saat itu. Catatan Belanda pun terhadap pertemuan damai ini sangat sedikit sekali.

Setelah rapat berakhir dengan sukses selama lebih kurang dari 3 (tiga) bulan yang menetapkan kesepakatan dalam 2 (dua) hal yaitu :
  1. Menghentikan secara menyeluruh permusuhan /pertikaian antar suku atau kayau mengayau dan permusuhan dengan pihak pemerintah Hindia Belanda.
  2. Menetapkan hukum adat yang berlaku sama untuk seluruh masyarakat suku Dayak di seluruh Kalimantan. 

Saat ini mungkin kejadian seperti tahun 1880-an tidak terjadi lagi, namun bibit itu masih ada, terutama kabar terbaru soal sengketa batas wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah dimana sengaja atau tidak juga terjadi di daerah Bukit Ayau dan Natah Dalau. Semoga semua hal yang berkaitan dengan permasalahan antar sesama bangsa di Kalimantan bisa diselesaikan secara kekeluargaan sesuai dengan jiwa dan semangat adat Dayak. Salam damai dan salam Dayak....Tabe